Labuan Bajo

Dekade Bajo: Antara Kadensi dan Dekadensi

Satu dekade lalu, jual beli tanah di wilayah ini sangatlah mudah. Lagi murah. Yang punya tanah, ingin jual utk aneka rupa obat mengatasi masalah. Menutup kebutuhan rumah. Atau buat biaya anak sekolah. Ada juga yg jual tanah utk pergi ke Mekkah. Yg belum saya dengar, tanah dijual utk modal mengawini perempuan kampung sebelah. Tapi ini sudah jadi gejala yg cukup mewabah di mana-mana.

Di sisi pembeli, motif membeli juga maneko warno beragam rupa. Sekadar iseng, mencari untung, atau untuk menabung. Tapi waktu itu nyaris tak ada yg berpikir bisa dapet untung bergunung- gunung.

Satu cerita yg terakhir malah lebih nganu gimana gitu. Ada orang beroleh tanah hanya dengan menukarnya dengan VCD player. Itulah kisah satu dekade lalu. Ketika alat elektronik –spiker aktif, DVD Player, tipi tipis, atau kulkas dan alat hiburan laninnya– jadi alat tukar tanah-tanah di sini.

Dua kali ke Bajo terakhir dalam sebulan terakhir, makin melengkapi kisah kota labuhan yg berubah amat gegas ini. Bulan lalu, jadwal yg padat membuat hirupan nafas menikmati Bajo terasa berat. Kali ini, ada titik-titik yg baru pertama dijejak di beberapa tempat.

Ada cerita-cerita lain yg juga didapat. Lagi-lagi, seputar tanah yg dijualbelikan. Ada satu teman yg beruntung. Dulu ia membeli tanah berskala gunung. Dibeli 8 juta rupiah saja. Ukurannya sudah hektar. Sekarang, ditawar 16 miliar belum dilepasnya. Dalam hitungan kurang dari satu dekade, sudah lebih dari dua ribu kali lipat naiknya.

Apa sesungguhnya yg mengubah Bajo? Tentu saja adalah jalan, pelabuhan, bandara. Bandara Komodo, dulu kecil dan kumuh. Pesawat kecil saja yg bisa berlabuh. Sekarang, sudah megah dan nyaris tiap jam deru mesin Roll-Royce bergemuruh.

Jalanan dulu sempit dan berlubang-lubang. Sekarang lebar mulus selebar kesempatan dan peluang yang datang.

Pelabuhannya dulu kusut dan kotor. Campur antara ikan barang dan penumpang. Sekarang mulai ditata ulang. Belum jadi sempurna karena ditata paling belakang. Nantinya, ada dermaga khusus utk kapal rakyat, kapal barang, kapal penumpang. Juga dermaga khusus kapal pelancong yg ingin senang-senang.

Dalam 7 tahun terakhir, semua berubah 180 derajat. Dan tanah di sini, ikut berubah. Tidak hanya 180 derajat, tapi 180 derajat yg sudah berputar lebih dari 100 kali. Ya harganya, ya wajahnya.

Bajo dalam lima tahun ke depan masih akan terus berubah. Setiap bulan, ada saja bukit yg tiba-tiba merekah. Dikeduk dan ditumpuk batu berbongkah-bongkah. Disulap jadi hotel dan resort yang mewah. Marriott, Ritz Carlton, Mawatu, dan apa lagi entah.

Bajo, kampung kecil nan indah yg sedang dan terus berubah, terus dan akan terus berbenah. Wilayah yg berubah juga trs meluas ke segenap penjuru. Dari Rangko sampai Tanamori. Dan mungkin suatu ketika akan merasuk hingga ke dalam. Kilau Bajo di bawah, suatu ketika akan menguat hingga ke Lembor atau Ruteng di kawasan gunung sana.

Tentu saja, dalam perjalanannya ada saja sana-sini masalah. Ada yg menggunakan kacamata kejut. Terkejut dengan kecepatan perubahan. Ada yg menggunakan kacamata kagum. Kekaguman akan keelokan bentang alam Bajo yg terukir ratusan ribu tahun. Ada yg berkacamata khawatir. Kekhawatiran akan ketidaksanggupan alam Bajo menampung imajinasi kerakusan dan keinginan manusia.


Labuan Bajo punya banyak tempat eksotik yg menarik.

Semalam saya ngobrol sama dua orang muda Rusia. Marat dan Lana. Delegasi G20 Sherpa Meeting. Mereka masih takjub ada tempat seindah ini.

“Gimana kami bisa bekerja tenang sementara ada banyak spot yg menggoda utk didatangi….?”

Pikiran mereka sudah melayang-layang ingin segera bertualang.

“Silakan bekerja tenang, kami wakili utk bersenang-senang….”

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *