demam sepeda

Demam dan Berkah Sepeda

Demam sepeda pertama yang saya ingat di Jakarta adalah hampir satu dekade silam. Saya masih wartawan di Kompas Gramedia. Sekelompok teman, tiap hari ngomongin sepeda. Lalu disusul musim fun bike di mana-mana. Hampir tiap minggu dan tiap ada tanggal merah.

Demam sepeda kala itu, membuat saya punya sepeda merek Polygon, yang saya beli dari teman yang surplus sepeda. Seingat saya, dia sudah punya empat, dan satu sepeda berjenis Astroz itu teronggok di gudang kantornya.

Demam itu terus meninggi, sampai ke tetangga-tetangga. Setiap minggu kami berkelana, meski jarak gowes kala itu tidak sebanding dengan volume makan dan frekuensi istirahat setiap kami berkelana. Malah pernah suatu ketika, karena gowes kejauhan, satu orang terpaksa pulang menyewa angkot karena sudah “awang-awangen” untuk menggowes balik.

Skala demam saya sendiri semakin meninggi. Tapi demam itu belum cukup untuk membuat nyali tebal ikut jelajah sepeda Kompas Bali-Komodo berjarak 700-an kilometer.

Tapi ya karena demam nggak turun-turun juga, akhirnya saya justru nekad ikut jelajah Kompas berikutnya yang menempuh rute Sabang-Padang sejauh 1.600 km.

Sejak pertama kali digelar Jelajah Sepeda Anyer-Panarukan oleh Kompas, jelajah itu seperti menjadi menu buruan komunitas pesepeda. Acara touring sepeda dengan dibatasi kuota, selalu hanya dalam hitungan menit sudah habis seat-nya. Apalagi, jelajah sepeda Kompas membuat pesertanya bertambah jumlah saudara. Sampai hari ini.

Dari rangkaian jelajah sepeda Nusantara, saya ikutan menikmati Tambora Bike yang merayakan 200 tahun letusan Gunung Tambora yang mengubah wajah dunia. Apalagi, sepeda ternyata ditemukan Karl von Drais gara-gara letusan Tambora ini.

Dari Tambora, jelajah berikutnya yang saya nikmati adalah Jelajah Papua, yg mengambil rute Sarmi-Jayapura dan Merauke-Sota.

Setelah Papua, lalu Flores. Ini adalah jelajah kedua di Flores yang diselenggarakan Kompas. Kalau dulu dari barat ke timur, yg kedua dibalik dari timur ke barat, dengan titik keberangkatan Maumere dan berakhir di Labuan Bajo. Ini jadi jelajah terakhir yang saya nikmati, sebelum rutinitas bekerja menyambut tiap hari hingga kini.

Ketika berkantor di sebelah utara lapangan Monas, saya masih sempat rutin bersepeda dari rumah ke kantor mengandalkan sepeda lipat lungsuran anak saya yang sudah enggak dia suka.

Demam sepeda gelombang pertama itu surut ketika lari menjadi pengganti sepeda. Sebagian teman di Kompas Gramedia Cyclist bertambah punya kelompok baru, KG Pelarian. Ada juga yang tidak berangkat dari sepeda, tapi langsung lari, dan sampai hari ini, saya lihat di status mereka, sudah ada yang rutin ikut maraton, bahkan yang Tokyo dan Boston Marathon.

Demam sepeda yang lebih luas terjadi di saat pandemi ini. Dan demam itu, sama seperti pandemi, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di seluruh belahan dunia.

Bersepeda, selain menjadi pilihan mobilitas bagi para pekerja kantoran yang menghindari angkutan umum yang rawan penularan virus, juga menjadi pilihan kaum urban lantaran orang merasa harus bergerak dan menjaga kondisi tubuh supaya tidak terjangkit virus.

Pada demam sepeda kali ini, Strava, penyedia aplikasi pencatat aktivitas outdoor, menghimpun data menarik. Sepanjang tahun 2020 lalu, orang yang bersepeda dan menggunakan Strava untuk mencatat jarak tempuh mereka, jika ditotal mencapai 13 miliar kilometer. Meningkat 4 miliar km dari 9 miliar km pada tahun 2019.

Strava juga mencatat adanya peningkatan aktivitas olahraga luar ruang di AS dan Inggris saja menignkat sebesar 28 persen (AS) dan 45 persen (Inggris).

Peningkatan Ekspor

Demam bersepeda nyaris di seluruh penjuru dunia membawa berkah dan benefit bagi industri sepeda Indonesia. Harap dicatat, meskipun China dan Taiwan dikenal sebagai produsen sepeda utama, pabrikan Indonesia juga merupakan maklon dari merk-merk sepeda bermerk Eropa atau Amerika.

Saat berkesempatan mengintip pabrik sepeda Polygon di Sidoarjo, saya melihat sendiri merk-merk sepeda ngetop ternyata dibuat oleh pabrik ini. Dengan tukang dan buruh yang sama dengan yang membuat merk Polygon.

Tak heran jika catatan Badan Pusat Statistik tentang ekspor sepeda Indonesia selama periode Januari-November 2020 meningkat 27,52% dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Nilainya mencapai 103,37 juta USD. Nilai ekspor itu dikontribusi terbesar oleh jenis sepeda balap sebesar 32,85% dan sepeda lainnya sebesar 30,61%.

Disebut sepeda roda dua lainnya, karena BPS mengelompokkan ekspor jenis ini ke dalam sepeda balap, sepeda anak-anak, sepeda lainnya termasuk roda tiga, dan sepeda roda selain balap dan sepeda buat bocah.

Kalau kita lihat jenis sepeda roda dua, ada yang versi road bike, sepeda touring, sepeda gunung, sepeda downhill, sampai sepeda lipat. Itu masuk satu kelompok, dan mereka adalah penyumbang ekspor terbesar industri sepeda.

Menariknya, meskipun di sini merk Brompton asal Inggris sangat populer dan menjadi idaman pesepeda, ekspor sepeda Indonesia ke Inggris justru paling besar dibandingkan negara-negara lainnya, yang mencapai 37,5% dari seluruh volume ekspor. Lalu disusul AS sebesar 18,86%.

Australia, Denmark, Swedia, Kanada, Belanda, Singapura, Malaysia, dan Jepang adalah negara yang juga mengimpor sepeda dari Indonesia dalam jumlah signifikan.

Ekspor ke Inggris dan AS memang melonjak gila. Sepanjang periode 2020 minus Desember, ekspor ke Inggris meningkat 43,16% dibandingkan tahun sebelumnya, sementara ke AS meningkat lebih gila lagi, 129,63%. Meskipun volumenya kalah dengan ekspor ke dua negara tersebut, namun ekspor ke Australia meningkat paling tajam, yakni 135,06%.

Sampai hari ini, demam sepeda masih belum surut. Mungkin saja karena pandemi juga belum ada tanda-tanda bakal segera normal seperti sedia kala. Para pesepeda sudah menemukan cara menyalurkan hobi mereka untuk tetap bisa berolahraga, sembari memenuhi protokol kesehatan yang lebih ketat.

Pada awal-awal pandemi, bersepeda dalam kelompok juga dipandang menjadi salah satu medium penularan virus Covid-19, sehingga sebagian memilih untuk bersolo ria, atau bersepeda dalam jumlah yang terbatas dengan jarak yang dipandang relatif aman.

Beberapa hari lalu, saya mendapat cerita, seorang teman yang positif dan berada dalam masa isolasi dan pemulihan, sudah bersepeda bersama pasangan, anak sulungnya, dan omnya. “Bersepeda membuat hati gembira,” katanya.

Pekan lalu, ketika saya menyambangi bengkel langganan sepeda dekat rumah, Nano, si pemilik sekaligus mekanik saya tanya, apakah orderan servis ataupun jualan dia masih ramai, dia menjawab singkat. “Ini kayaknya sudah mulai nggak musim.”

Tapi jawaban itu kayaknya tidak mencerminkan fenomena demam sepeda, karena saya lihat setidaknya ada dua toko sepeda baru di dekat rumah yang baru buka sejak pandemi. Saya lihat di group-group WA pesepeda yang saya ikuti, touring masih rutin digelar tiap minggu. Dan masih ramai-ramai saja yang ikutan.

Jadi, demam bersepeda ini sepertinya masih akan berlangsung panjang. Dan mudah-mudahan, ada lebih banyak orang baru yang kesambet demam sepeda ini, sehingga makin sedikit orang yang kesambet virus karena hidup mereka makin sehat.

Alois Wisnuhardana, Happy Eximbanker, personal note.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *