Gelombang Ketiga Pandemi dan Program Vaksinasi Banyak Bangsa

Rabu, 13 Januari 2021, Presiden Jokowi sudah divaksinasi menanggulangi virus Covid-19. Menjadi orang pertama yang menerima vaksinasi. Menandai dimulainya vaksinasi massal. Namun yang jadi ramai adalah penolakan anggota DPR disuntik vaksin. Di medsos, yang ramai adalah plintiran-plintiran berita. “Katanya Pak Jokowi disuntik di Istana. Itu kok gambarnya disuntiknya di lengan kiri.” Begitu salah satunya.

Tapi kadang kita lupa. Gara-gara keriuhan di sini, apa yang terjadi di negeri seberang, di negeri jauh, tak sempat kita perhatikan. Memang sih, dalam situasi begini, memang lebih asyik menengok ke diri sendiri. Termasuk memproteksi diri sendiri.

Di banyak negara, tren peningkatan penularan terjadi. Juga lonjakan kematian. Beberapa negara mengidentifikasi varian atau strain virus baru yang sudah bermutasi. Musim udara dingin dan basah, rupanya membuat virus bisa berubah wujud dengan lebih mudah. Inggris dan Afrika Selatan misalnya, menghadapi gelombang kasus baru akibat mutasi virus ini, dan mulai diidentifikasi di beberapa wilayah sejak pertengahan Desember 2020 lalu.

National Institute of Infectious Diseases (NIID) Jepang melaporkan virus yang mirip yang ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan pada empat penumpang yang tiba dari Brazil, 10 Januari lalu.

Sementara Denmark memperpanjang kebijakan lockdown hingga 16 Januari 2021, setelah varian virus dari Inggris menyebar dengan cepat di kawasan Eropa, termasuk Skandinavia. Perdana menteri Denmark Mette Frederiksen mengindikasikan perpanjangan penguncian wilayah setelah 16 Januari.

Kota Praha pun sempat diguncang demo besar di alun-alun kota, menuntut diakhirinya lockdown. Namun tuntutan itu tampaknya berakhir nihil, mengingat otoritas kesehatan Republik Ceko melaporkan lonjakan kasus baru hingga mencapai 17.773 hingga pekan pertama Januari 2021.

Begitu juga Irlandia. Kebijakan penguncian dan penutupan wilayah dari lalu-lintas orang asing diberlakukan sampai dengan akhir Januari 2021. Pemerintah masih melarang kegiatan sekolah dan pekerjaan-pekerjaan lain seperti pembangunan konstruksi, gara-gara ada varian baru virus yang masuk dari Inggris.

Setali dengan negara-negara tersebut, Rumania dan Swiss juga menutup wilayah mereka. Sekolah tetap ditutup, sementara restoran, bar, dan tempat-tempat rekreasi dikunci sampai dengan akhir Januari.

Secara statistik, sebanyak 65 negara melakukan ease lockdown. Apa sih ease lockdown? Gampangnya, warga di negara-negara tersebut tetap dapat melakukan aktivitas dalam protokol kesehatan. Sementara 113 negara melakukan full lockdown maupun partial lockdown. Itu artinya, negara-negara tersebut mengisolasi total atau mengisolasi kota-kota yang dianggap paling parah dalam kasus penularan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pemerintah telah mengumumkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat sampai 25 Januari. Alasannya jelas. Tren penularan virus menunjukkan gejala-gejala meningkat sejak tahun beringsut dari 2020 ke 2021.

Angka penambahan rata-rata tertular harian sudah tembus di atas 10 ribu, sedangkan angka kematian yang dilaporkan atau tercatat terus menembus rekor-rekor baru. Tapi peningkatan penularan itu juga diimbangi dengan tingkat kesembuhan yang semakin tinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian per hari. Jika rata-rata pasien meninggal adalah 199 per hari dalam satu minggu, rata-rata yang sembuh adalah 7.012 orang per hari dalam kurun waktu yang sama.

Dua provinsi yang menyumbang penambahan kasus baru terbesar adalah DKI Jakarta dan Jawa Barat, dengan rata-rata penambahan 2.411 dan 1.441 secara berturut-turut. Itu terjadi dalam rentang waktu 4 Januari hingga 10 Januari 2021.

Dari sisi momentum, program vaksinasi nasional sudah resmi dimulai sejak Presiden Jokowi disuntik oleh wakil dokter kepresidenan, berbarengan dengan dimulainya vaksinasi nasional.

Maka, momentum dimulainya vaksinasi massal yang berkoinsidensi dengan peningkatan penularan memberikan semacam ketenangan psikologis pada warga kebanyakan. Tentu saja, di sana-sini muncul diskusi –dan perdebatan atau nyinyiran tentu saja, kan—soal efektivitas, soal siapa yang seharusnya divaksin lebih dahulu, siapa yang tidak boleh divaksin, soal biaya, soal keamanan vaksin, soal handling vaksin di lokasi-lokasi yang terpencil, dan soal-soal lainnya yang kadang-kadang sulit diterima nalar.

Apa misalnya?

Debat atau diskusi soal otong yang bisa tambah besar sehabis disuntik vaksin. Tapi yang begitu-begitu sudah jamak jadi percakapan di media atau media sosial di republik +62 kan?

Pada momentum itu pulalah gerakan “Saya Siap Divaksin” merebak di media-media sosial dan menjadi gambar profil dari setiap pemilik ponsel. Kecuali mereka yang menolak atau ragu-ragu, tentu saja.Saya sendiri apakah siap divaksin? Jangankan divaksin, dikawin aja siap…#eh

Alois Wisnuhardana
Happy Eximbanker, personal note.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *