grafiti

Grafiti

Kreativitas versus vandalisme. Kesenian melawan kejorokan. Kebebasan berhadapan dengan keteraturan. Begitulah grafiti eksis dalam dunia modern.

Nyaris tiada kota yg bisa terbebas dr persoalan grafiti. Kota di negara maju, berkembang, atau terbelakang, mengalami tantangan yg sama. Bagi pelakunya, grafiti adalah simbol eksistensi diri dan kelompok.

Dua gambar ini adalah grafiti yg terkespresikan di Barcelona dan Washington DC. Grafitinya sederhana saja. Tapi keberadaannya sedikit mengganggu pemandangan, krn bentuknya yg tidak kuat. Tanda bahwa pelakunya pasti mengerjakannya buru-buru. Tanda bahwa grafiti adalah suatu pelanggaran hukum di dua kota itu.

Sejak 1960-an, kota-kota besar dunia –New York, London, Muenchen, Madrid, sudah menghadapi problem ini. Amatan terhadap para pelaku memperlihatkan bahwa grafiti adalah simbol kelas sekaligus perlawanan. Kelas rendahan terhadap kelas elite. Kaum miskin melawan kelompok kaya.

Lalu, berkembang pula tipologi grafiti dari masa ke masa. Jika sebelumnya grafiti hanya sekadar simbol eksistensi yg terekspresikan di dalam huruf atau kata, belakangan grafiti masuk ke elemen bentuk dan gambar. Jika sebelumnya grafiti didominasi oleh warna monokromatis hitam putih, belakangan grafiti kian berwarna-warni. Semua karena adanya dukungan dari alat ekspresi berupa cat kaleng yg kian berwarna-warni.

“Pengeboman” suatu area dengan grafiti biasanya dipengaruhi oleh strategis tidaknya area atau titik bombing. Makin strategis, makin eksotis. Tapi juga menantang. Otoritas biasanya melakukan segala cara untuk menjaga titik-titik strategis dr serbuan bomber. Karena hukuman dan denda tidak lagi membuat pelaku jera, yg sering dilakukan oleh penguasa kota adalah memberinya ruang spesifik.

Karena grafiti adalah gejala laten dari zaman ke zaman, makin mustahil memberangus aktivitas ini sama sekali.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *