Pada masa mudanya, selepas tahbisan imamatnya, ia menghabiskan beberapa tahun di paroki desa, tempat saya lahir tinggal dan menghabiskan masa kecil: Pakem.
Di sana, kegemarannya menonton wayang terlampiaskan. Hampir tiap ada pertunjukan wayang yg ditanggap org utk suatu hajatan, ia nyaris selalu memburu, ditemani oleh koster dan beberapa anak muda, berbekal termos yang sudah diisi kopi.
Pengetahuannya dan pendalaman khazanah akan dunia wayang pada alam berpikirnya amatlah paripurna. Beda bumi langit dengan saya, yg kenal bau wayang lebih khatam dengan istilah cliwik atau palang slewah. Ia telah menulis sebuah novel berlatar wayang “Anak Bajang Menggiring Angin” yang hari ini telah menjadi klasik. Novel yang ditulisnya semasa ia menjadi wartawan di Kompas.
Di Pakem pula ia menggali sumur di dalam gereja, yang hari ini menjadi salah satu tempat peziarahan: Sumur Kitiran Mas. Titik tempat ia menggali sumur juga dicarinya dengan “cara alami”. Dilepasnya sejumlah kodok di dalam gereja, lalu tempat di mana kodok-kodok itu pada meriung dan ngumpul, di situlah ia gali sebagai sumber mata air.
Selepas dari berdinas di Pakem, ia ditugaskan oleh pembesarnya untuk menempuh ilmu filsafat di Jerman hingga tingkat doktoral. Ia bergulat dalam dengan banyak filsuf Jerman, sehingga tak salah pula bila Serikat Jesus menjadikannya filsuf yang banyak menggali pemikiran Jerman.
Skripsi filsafatnya sudah bersinggungan dengan mazhab Frankfurt, dan ia lebih memilih membahas tentang Max Horkheimer dari Sekolah Frankfurt, kemudian diterbitkan Gramedia dengan judul “Dilema Usaha Manusia Rasional”. Para sosiolog atau filsuf yang mengupas Sekolah Frankfurt, pada umumnya lebih tertarik pada sosok Jurgen Habermas, Herbert Marcuse atau Theodor W. Adorno. Dialah yang membawa alam berpikir Horkheimer ke kalangan intelektual Indonesia. Mungkin juga yg pertama.
Setelah kembali dari Jerman, ia diperintah oleh pemimpin konggregasinya, Serikat Jesus, untuk merejuvenasi Majalah BASIS, yang telah dibangun oleh pendahulunya sesama Jeusuit, Dick Hartoko, seorang peranakan Belanda beribukan orang Kraksaan, Probolinggo dan bernama asli Theodorus Geldrop.
Di tangannya, BASIS berubah dari sebuah majalah sastra menjadi majalah kebudayaan umum, yang pada awalnya menahbiskan diri sebagai “benteng pikiran sehat”, lalu menjadi “jurnalisme seribu mata”, dan entah apa lagi.
Di BASIS yang berwajah baru ini, saya ikut-ikutan ngrusuhi. Namanya juga hanya ngrusuhi, sudah pasti tidak berkontribusi. Banyak tokoh berkumpul. Saya ikut mendengarkan para begawan, para filsuf, para intelektual, berdiskusi dan berdebat, lalu biasanya ia menuangkannya ke dalam tulisan.
Saya merasakan aura kesenimanan yg lekat pada wajah baru Basis. Sejumlah seniman seperti Hari Budiono, Ong Hari Wahyu, alm Hendro Suseno, juga cerpenis-novelis Budi Sarjono ikut cawe-cawe. Juga intelektual semacam Budi Susanto, Dipo Sudiarja, Herry Priyono, B Rahmanto, sering terlibat dalam diskusi. Juga Darmaningtyas dan Made Toni meski jejaknya terbilang singkat.
Saya sendiri, tentu saja hanya ikut membantu menuangkan seceret kopi ke dalam cangkir-cangkir para peserta diskusi, sembari menyimak dan menikmati “ketidakpahaman” saya tentang apa yang dibicarakan, sembari ikut menghabiskan nyamikan dan nasi. Mungkin sekitar dua tahun saya nyantrik jadi sinoman, sekaligus membantu meloper majalah dari dusun ke dusun, dari kampus ke kampus.
Setelahnya, saya menyabung nasib di Jakarta, dan ia tetap di Jogja dengan segala dunia dan pergaulannya yang menenteramkan jiwa. Sesekali saya bertemu, tapi tidak lagi berdiskusi mendalam atau menikmati pemikirannya. Apa yang sedang dipikirkannya, hanya bisa saya nikmati dari kejauhan, lewat majalah BASIS atau tulisannya di KOMPAS.
Ihwal tulisannya di KOMPAS, dialah salah satu pengerek oplah KOMPAS menuju tiras tertinggi dalam sejarah penerbitannya. Bukan lewat tulisannya tentang filsafat, tentang politik, tentang sosial, atau tentang ekonomi, tetapi tentang bola. Piala Eropa 1988 yang hingar-bingar kala itu, diulasnya dengan sungguh menarik. Dan meski bicara bola, ia sesungguhnya bicara tentang manusia dan pencariannya.
Manusia di lapangan bola yang tengah berjuang mencari menang, menjadi objek telaahnya, sehingga 22 orang di lapangan hijau, sesungguhnya tak lebih dan tak kurang dari setiap manusia yang ingin menang. Ia menempatkan cara berpikir Viktor Frankl, seorang korban kamp Nazi di Auschwitz. “Dorongan utama manusia dalam hidup bukanlah meraih kesenangan atau kenikmatan, melainkan pencarian makna.” Begitulah kira-kira ringkasnya cara Frankl berpikir.
Maka, seorang Frank Rijkaard atau van Basten atau Ruud Gullit, di matanya adalah sosok yang melampaui kawan-kawan bermainnya di timnas Belanda. Jika sepakbola diibaratkan sebuah permainan musik, Belanda bukanlah suatu orkestra komplit di mana setiap alat punya peran vital, melainkan suatu big band. Orange Big Band, dengan konduktor pada Rinus Michels.
Di Piala Dunia 1990, kemampuan dan analisis bolanya senantiasa ditunggu. Caranya memprediksi pertandingan berangkat dari sosok-sosok kunci di suatu tim. Berangkat dari manusianya. Meskipun dia adalah fans Jerman, caranya mengupas tim-tim lain membuat siapapun yang menjadi fansnya tergelitik dan merasa bangga mendukung tim tersebut.
Sekarang, ia tinggal di Kolese Ignasius, asrama Jesuit dan calon Jesuit yang tahun ini akan merayakan 100 tahun eksistensinya. Di sebuah kamar dari puluhan kamar yang berderet di sana, saya tak sengaja menemuinya ketika ia sedang sibuk membaca-baca di kamarnya.
Saya tiba-tiba teringat kata-katanya puluhan tahun silam, “membaca adalah cara manusia mengisi jiwanya dengan pengetahuan.”
Dengan buku-buku yg tertata rapi di ruangannya, saya segera menyimpulkan bahwa setelah berpuluh-puluh tahun, ia telah semakin kaya dan penuh dengan pengetahuan. Selayaknya danau, ia adalah danau pengetahuan. Kedhung kawruh. Dengan perjalanannya yang senantiasa terasah untuk berpikir dan berefleksi, tak salah lagi, ia adalah danau kebijaksanaan, kedhung kawicaksanan.
Sore itu, sekedipan mata saja rasanya saya menikmati kamarnya yang penuh sesak oleh buku-buku. Padahal, ingin sekali menelusuri apa saja deretan buku² yg telah dilahapnya.
Tapi ingatan saya tentangnya tak pernah hilang akan ceritanya di masa muda, sewaktu masih menjadi frater di Yogyakarta. Suatu hari, ia memantapkan diri bersepeda dari Jogja menuju Novisiat Girisonta. Di perjalanan, ia hanya berbekal air putih belaka, karena sudah membayangkan nanti sesampainya di Girisonta, ia bisa membayar dahaganya dengan sebotol bir, yang ia bayangkan akan sangat nikmat. Apa daya, tenaganya tak bisa dipaksa oleh dahaga.
“Akhirnya saya berhenti di Bawen. Menggok di sebuah warung dan memesan sebotol temulawak. Di situlah saya merasakan, ternyata temulawak itu rasanya lebih enak dari bir manapun yang pernah saya minum….”
Sehat-sehat selalu nggih, Rom…