Tidak ada negara yang tidak kepayahan. Pandemi memang benar-benar membuat kita letih mental dan fisik. Malah ada yang kembali limbung kayak India gegara kendor dan kepedean membuka kunci kelonggaran. Memang ada juga sih yang seperti Australia atau New Zealand yang sudah berhasil membebaskan warganya ke ruang publik tanpa masker.
Tapi secara umum, sebagian besar negara-negara sudah pasti letih kantongnya. Begitu juga warganya. Ekonomi lesu di mana-mana dan terjadi di banyak sektor. Pandemi membuat ancaman kesenjangan makin menganga antara kaya dan miskin. Persis seperti syair lagunya Rhoma Irama itu.
Tapi pandemi bukan cuma soal info atau kabar serem dan menakutkan. Apalagi, tanda-tanda pembalikan (rebound) pergerakan ekonomi mulai terlihat nyata setelah kita terkungkung dalam suasana glumi nyaris dua tahun ini.
Harga sejumlah komoditas melonjak ke level tertinggi, terutama pada sektor logam, makanan, dan bahan bakar energi. The Bloomberg Commodity Spot Index yang merupakan indeks gabungan harga 23 komoditas bahan mentah naik 0,8 persen ke level tertinggi. Level itu pernah dicapai pada tahun 2011, satu dekade silam. Setelah tahun itu, harga komoditas terus nyungsep, sehingga Indonesia yang ekspornya banyak bertumpu pada penjualan komoditas sempat kelimpungan.
Kalau dibandingkan dengan indeks per Maret 2020, angka yang dicapai saat ini malah melonjak lebih ajrut-ajrutan lagi, yaitu 70% secara year on year. Tapi, angka indeks pada Maret 2020 itu sendiri memang merupakan level terendah dalam 4 tahun terakhir. Saya tentu tak perlu bilang lagi apa penyebab jatuhnya indeks tersebut pada Maret 2020, kan?
Pembalikan aktivitas ekonomi dari yang tadinya mengalami kontraksi amat dalam hingga belasan persen ke level menuju nol, telah mendorong aktivitas manufaktur sehingga juga ikut mengerek penguatan harga komoditas logam.
Sementara sektor transportasi yang sudah mulai terlihat normal di hampir semua negara di dunia –meski belum kembali seperti sebelum pandemi—telah meningkatkan harga bahan bakar dan energi.
Buat Anda yang hobi ngemil popcorn, atau doyan makan roti, atau suka minuman yang manis-manis, ini yang perlu dicatat dan diingat. Harga ketiga komoditas tersebut telah melonjak cukup signifikan gara-gara kekeringan berskala besar yang melanda Brasil, AS, dan Eropa, yang selama ini merupakan produsen utama dunia untuk ketiga bahan pangan tersebut.
Buat yang nggak suka jagung, gandum, atau gula, efek kenaikan harga itu ternyata juga memicu kenaikan harga berbagai kebutuhan rumah tangga seperti makanan, tisu toilet, popok bayi, sampai dengan sabun-sabunan rumah tangga. Nah, di sinilah periode agak ngeri-ngeri sedep itu bakal terjadi. Kenapa?
Di satu sisi, kenaikan harga barang-barang komoditas itu menguntungkan buat negara seperti kita yang selama ini bertumpu pada penjualan produk-produk kita di pasar dunia. Di dalam tata ekonomi internasional, negeri enam dua itu punya sawit, karet, sampai tambang dan logam yang jadi mesin penghasil devisa.
Yang patut dijaga adalah, jangan sampai kenaikan tersebut menyeret kenaikan harga-harga produk lainnya. Sehingga, para pengambil kebijakan ekonomi di tiap negara musti pinter-pinter supaya negeri mereka tidak terlilit inflasi. AS misalnya, melalui Menteri Keuangan Janet Yellen yang juga mantan Kepala The Fed, sudah ancang-ancang menaikkan suku bunga supaya gerak laju ekonomi ini nggak kepanasan kayak mobil tua kijang doyok dipaksa lewat di tanjakan Nagrek.
Tapi secara umum, arah ekonomi sepertinya jauh lebih baik dibandingkan kondisi tahun lalu. Trek yang dilalui Indonesia urusan menumbuhkan ekonomi setidaknya sudah menunjukkan hal itu. Dari minus 5,3%, lalu jadi minus 2,7%, lalu dalam kuartal pertama tahun ini jadi cuma minus 0,74%.
Setidaknya Greg Sharenow –lucu juga namanya kalau diindonesiakan ya— yang bilang. Manajer Portofolio di Pacific Investment Management ini bilang, ekonomi sedang mengarah pada percepatan permintaan. Pulihnya AS dan Tiongkok dari Pandemi yang lebih cepat telah memicu permintaan lebih besar untuk produk-produk otomotif, elektronik, dan perlengkapan infrastruktur. Mengapa infrastruktur ikut-ikutan?
AS di bawah Joe Biden sudah menyatakan secara terbuka, bakal menggelontorkan belanja infrastruktur besar-besaran senilai 2,25 triliun USD. Bayangkan, ketika Presiden Jokowi pada tahun 2014 mencanangkan program infrastruktur senilai sekitar 400 miliar USD dalam lima tahun yang didanai sebagian kecil dari APBN dan sebagian besar dari investasi swasta, efek ekonominya sudah ke mana-mana. Yang dianggarkan Biden ini, lebih dari 4 kalinya.
Itu alasan kenapa infrastruktur diyakini jadi salah satu loko yang mengerek permintaan.
Goldman Sach Group dalam laporan akhir April lalu meramal –tentu bukan pakai feeling atau dupa tapi pakai analisis dan angka-angka —harga-harga komoditas dapat melonjak hingga 13,5 persen sampai tahun 2021 berakhir. Goldman juga bikin proyeksi, harga minyak bisa menyentuh angka 80 USD per barel sedangkan tembaga bisa mencapai 11 ribu USD per ton.
Raksasa analis yang lain, JPMorgan Chase & Co punya analisis yang lebih menekankan terjadinya pergeseran ekonomi dunia, dari yang semula product oriented manjadi service oriented. Apa maksudnya? Sejak pandemi, kita tahu, sektor jasa nyaris lumpuh. Bahkan ada yang sudah sekarat atau mati. Ke depan, aktivitas industri sektor ini akan menggeliat lagi sehingga makin banyak orang akan memanfaatkan atau menikmati industri jasa –pariwisata, hiburan, hotel dan konco-konconya.
Intinya, kalau menginterpretasi analisis JPMorgan ini, orang butuh piknik. Orang butuh hiburan di luar. Efeknya, gara-gara orang butuh keluar rumah, jalan-jalan, menikmati dunia di luar rumah yang selama hampir 2 tahun seperti penjara, permintaan logam untuk memproduksi alat-alata dapur dan elektronika rumahan ikut menurun.
Begitulah lika-liku lekak-lekuk harga komoditas sekurangnya dalam enam bulan ke depan, setidaknya berdasarkan amatan, ramalan, atau proyeksi dari banyak lembaga riset dan analisis ekonomi global. Benarkah demikian? Kung Fu Panda nitip pesen di sini: “Tomorrow is a mistery, but today is a gift.”
Jadi, kalian udah pada kirim gift utk teman, sahabat, keluarga yang Anda sayangi? Buruan gih!
Alois Wisnuhardana,
Happy Eximbanker at daylight, dreamer at daynight, joker in between
