Media dan Pesonanya

Foto yang tiba-tiba muncul lagi di FB ini ternyata membawa saya bisa bercerita banyak tentang dunia media. Sebuah foto perhelatan acara penghargaan bagi industri arsitektur, desain, dan material bangunan, kira-kira satu dekade silam.

Pada masanya, setiap media memiliki penghargaan yang diberikan kepada para pelaku di bidang industri yang mereka tekuni. Bagi para pelakunya, penghargaan media menjadi penanda kredibilitas dan pengungkit produk/brand yang mereka kelola.

IDEA-RUMAH AWARDS nyempil dalam arus semacam ini, dan bukanlah yang pionir dalam urusan kusala-kusala ini. Sudah ada media lain yang melakukannya, sehingga tinggal pakai pola ATM: Amati, Tiru, Modifikasi.

Industri media memang menjadi magnet memesona pada zamannya, dan terentang panjang nyaris dua dekade lamanya. Setelah rezim Soeharto tumbang, kebebasan menjadi jiwa zaman itu, dan kebebasan berekspresi melalui media menemukan pembenarnya. Tidak ada lagi izin usaha penerbitan. Orang bisa bikin media apa saja. Asal punya modal dan orang.

Satu dekade setelah era kebebasan informasi tiba sebagai buah reformasi, industri media masih merupakan industri yang menarik, baik bagi para sarjana lulusan kampus ataupun para investor yang ingin mencari cuan dari jual beli informasi. Jumlah koran, majalah, dan tabloid meledak secara luar biasa, sementara platform digital menjadi pelengkap.

Saya yang masuk industri ini pada tahun-tahun awal setelah Reformasi 1998, masih mengingat dengan baik bagaimana media-media tumbuh secara tersegmentasi dan segmentasi itu terbagi secara sangat tipis.

Media otomotif, media IT, ekonomi, hobi berkebun memasak olahraga seni fotografi, segmen perempuan –atau laki atau anak-anak–, fesyen, misalnya, masih terbagi-bagi lagi ke dalam subsegmen yang lebih dalam.

Media IT misalnya, terbagi ke dalam media seluler dan komputer. Bahkan ada media yang khusus bicara antivirus atau jaringan atau desain. Segmen lain, media otomotif misalnya, terbagi dalam segmen roda empat roda dua. Malah ada pula media otomotif yang khusus membahas aksesorisnya saja, atau audionya saja.

Belum lagi media-media asing yang lisensinya diperjualbelikan, dan penerbitannya disesuaikan dengan audiens Indonesia. National Geographics, Fortune, PC Magazine, Top Gear, dan puluhan nama lainnya, ikut memenuhi lapak-lapak koran/majalah di pinggir-pinggir jalan.

Ruameee pokoknya….

Ketika berada dalam kolam pergaulan media ini, saya tentu berinteraksi dengan banyak orang di dalamnya, terutama para jurnalisnya. Dan ketika ngobrol lebih dalam, tidak sedikit –meskipun juga tidak sangat banyak– teman justru beralih dari profesi sebelumnya. Ada teman yang sebelumnya sudah bekerja di perusahaan perminyakan. Ada juga yang berasal dari perbankan, konstruksi, dan manufaktur.

Dilihat dari latar belakang pendidikannya, mereka juga datang dari kampus-kampus top di negeri ini. Lulusan UI, UGM, ITB, atau IPB, sangatlah mudah dicari di antara kawan-kawan ini. IPB, saking banyaknya lulusan yang menekuni profesi wartawan, sampai dipanjangkan menjadi Institut Publisistik Bogor. Mungkin sama banyaknya dengan lulusan yang menjadi bankir, sehingga kadang-kadang juga diplesetkan menjadi Institut Perbankan Bogor.

Ketika memimpin puluhan anak-anak muda mengelola media yang segmennya spesifik –komputer dan kemudian desain/arsitektur— tim saya relatif beragam dari sisi asal lulusan. UI, ITB, IPB, Bina Nusantara, UGM, Atma Jaya, Parahyangan, IKJ, Trisakti, atau Tarumanagara. Boleh dibilang, kampus-kampus kondang, baik negeri maupun swasta. Sesekali, ada juga lulusan dari kampus negeri dan swasta di luar Jawa, tetapi secara nama juga tetap terbilang kondang.

Maka, ketika industri media –terutama media cetak—hari ini berada pada titik nadir, saya menduga dunia media yang di masa lalu sedemikian memesona anak-anak muda lulusan universitas juga tidak lagi menarik bagi anak-anak muda lulusan hari ini. Mereka mungkin akan menjadikannya pilihan prioritas terakhir, atau ketika sudah tidak ada opsi lain untuk bekerja atau menghidupi diri dan keluarga.

Kawan dan kolega saya yang sepuluh atau dua puluh tahun lalu bekerja dengan riang gembira, sekarang sudah menyebar ke mana dan ada yang beralih profesi. Menjadi arsitek profesional, bekerja di perusahaan/korporasi non-media, atau beralih menjadi tuan alias pengusaha, sementara yang masih mencintai dunianya, beralih menjadi blogger/vlogger mengikuti perubahan platform media yang berkembang, atau menjadi pejabat humas/komunikasi pada aneka lembaga dan korporasi.

Saya sendiri –melalui cerita berliku, melompat ke sana ke mari, dan setengah tidak saya bayangkan— tiba-tiba jadi bankir.

Alois Wisnuhardana

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *