Mentalitas Monster

Punya mental kuat itu hebat. Men sana in corpore sano, kata pepataah klasik Latin.

Dalam dunia bola, mentalitas monster sangat penting. Kekalahan City atas Madrid di semifinal Liga Champions 2022 membuktikan pentingnya ketahanan mental tersebut. Waktu tersisa kurang dari 5 menit, butuh dua gol, pemain-pemain Madrid kompakan bikin mental mereka seperti monster.

Kemenangan Liverpool atas Villareal di babak yang sama ajang yang sama, juga menunjukkan itu. Ketinggalan dua gol –yang artinya agregatnya 2-2– dan harus bermain di kandang lawan dengan tekanan penuh dari penonton, Klopp memompa anak buahnya menghadapi mentalitas monster –mentalidad monstrosos– Villareal dengan menciptakan monster yang lebih kuat. Pintu masuknya dari Lucho Diaz di awal babak kedua.

Mentalitas monster di dalam bola selalu bersifat kolegial. Namanya juga permainan kolektif. Sendiri-sendiri, sekalipun ia Messi atau Ronaldo, pasti cuma bakal panen frustrasi.

Bagaimana menciptakan monster dan membangunnya secara kolektif di dalam sebuah tim? Di situlah peran manajer atau pelatih sangat menentukan. Termasuk memilih dan menentukan lewat mana mentalitas monster diciptakan, yang ruangnya ada di dalam pergantian pemain.

Juergen Klopp adalah salah satu orang yang punya kapasitas untuk itu. Alex Fergusson, tentu saja juga harus disebut. Pada masanya, ia punya kemewahan Fergie’s Time. Pep Guardiola, rasa-rasanya juga punya ini. Tapi ratusan pelatih bola di liga Eropa, tak banyak yang punya. Mungkin puluhan saja.

Mentalitas monster dibangun melalui mindset. Pikiran atau cara berpikir. Tapi cara berpikir saja tidak cukup. Butuh cara bertindak dan cara bekerja yang sejalan dengan cara berpikir.

Dalam permainan bola, cara bekerja dan cara bertindak yang menghasilkan mentalitas monster harus diputuskan secara cepat. Adu penalti Liverpool-Chelsea di FA Cup 2022 menunjukkan pentingnya mengambil keputusan cepat, memberi ruang untuk mengambil energi dan membebaskan pikiran mengikuti kehendak.

Setelah babak perpanjangan waktu usai dan juara FA Cup harus ditentukan dengan adu penalti, ada waktu sekitar 5 menit untuk menyelesaikan daftar penyepak yang siap menghadapi tekanan.

Dalam hitungan kurang dari dua menit, Klopp sudah menyelesaikan daftarnya. Dia peluk satu per satu pemain yang menerima tekanan mental. Klopp tak mengatakan siapa-siapa saja penyepaknya di dalam group, tapi ia datangi satu per satu dengan bonus “Klopp’s hug” yang kencengnya nggak kira-kira.

Dalam waktu tersisa, pemain punya ruang untuk berpikir dan mendengarkan apa yang akan dia lakukan, ke mana bola akan diarahkan, dengan cara apa. Tembak keras atau Panenka. Tembak lurus atau nyamping. Datar atau sedikit diangkat. Semua punya risiko. Dan pemain sudah memutuskan ketika ia mendapatk kesempatan.

Sebaliknya dengan Tuchel. Sampai dengan dua menit persiapan menuju lima menit, dia masih sibuk menulis daftar. Mencoret si nganu, mengganti dengan si ngana. Dia sebut satu per satu tukang sepak di dalam group. Dan sudah barang tentu itu memberi tekanan ekstra pada sang pemain, karena yang disebut pasti merasakan beban seluruh tim kini ada di pundaknya. Pemain juga tidak punya banyak ruang untuk bicara dengan dirinya sendiri. Atmosfer group berada dalam tekanan.

Adu penalti sendiri sebenarnya sudah seperti lotere. Tos-tosan. Untung-untungan. Tapi adakah keberuntungan akan jadi manifes tanpa persiapan dan tanpa mentalitas monster? Secara teknis, penalti itu 99% menghasilkan gol. Tapi secara mental, yang 1% itu bisa membuyarkan.

Dan itu terjadi pada Chelsea. Juga pada Sadio Mane. Pada Chelsea, kegagalan Azpillicueta memberikan tekanan hebat. Tapi di ujung akhir, Mane melakukan sepakan yang mudah ditangkap temen main bola sekampung, Edouard Mendy. Tekanan berbalik ke Liverpool.

Tapi apa yang terjadi pada Mane?

Rupanya, bisikan Klopp yang membuatnya demikian. Dan Klopp menyesal tak kepalang setelahnya.

“Gue bilang sama Mane. Tuh kiper tahu dan hapal bener kamu biasanya menyepak ke mana. Jadi, sepaklah ke arah berlawanan yang mungkin dia kira kamu bakal nembak ke mane. Gitu, Bro Mane!”

Rupanya itu justru memberi tekanan tambahan pada Mane. Ruang kebebasannya hilang gara-gara bisikan itu. Mungkin saja dia sudah mengambil keputusan ke mana bola akan ia sepak sebelum Klopp memberikan masukan. Dan gara-gara masukan itu, ia menyepak “sesuai arahan pimpinan.”

Hasilnya….. jlebb! Bola datar sepakan Mane dihadang Mendy dengan sempurna.

Sebuah lotere punya peluang setengah-setengah untuk menang atau kalah. Juga kayak judi kripto atau binomo gitu. Sebuah penalti –itu tadi– peluang golnya malah 99%.

Makanya, pendekatan dan cara yang digunakan Klopp menjelaskan cerita kekalahan tiga kali berturut-turut Chelsea atas Liverpool dalam adu penalti, dan semuanya di ajang final: Super Cup, Carabao Cup, dan FA Cup.

Dalam hal itu, peran sains sangatlah penting. Liverpool bekerja sama dengan Neuro11, sebuah perusahaan neurosains asal Jerman, untuk memahami cara kerja pikiran dalam sebuah pertandingan bola, termasuk dalam menghadapi adu penalti begini.

Dengan menerapkan sains, perjudian dimaksimalkan hasilnya untuk menang. Dengan metode berbasis sains, mentalitas monster diciptakan untuk memberikan tambahan kekuatan pada tim dan menimbulkan efek gentar terhadap lawan.

Begitulah mentalitas monster dibangun. Seperti menata bata suatu bangunan. Satu per satu, dan ketika diikat menjadi sangat kuat.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *