Nazab

Dalam dunia bola, nazab atau keturunan sering menjadi perhatian. Tak beda juga dengan dunia bisnis atau politik. Tapi, ukuran nazab alias garis keturunan dinilai dari prestasi, minimal dari jalur bapak-anak.

Maldini contohnya. Cesare, adalah pemain legendaris Milan. Anaknya, Paolo mengikuti jejak anaknya. Di Inggris, ada Harry Redknapp yang anaknya Jamie mengikuti jejak ayahnya. Ponakan Harry, bahkan juga menjadi legenda sebagai pemain, meskipun sebagai pelatih belum terbukti dan banyak gagalnya: Frank Lampard.

Erling Haaland, salah satu talenta yang paling bersinar di Eropa sekarang ini, babenya juga mantan pemain bola, Alf Inge. Kalau lupa tentang Alf, ini orang yang pernah sengaja mau dipatahin kakinya oleh Roy Keane waktu masih main di Liga Inggris. David Beckham, Wayne Rooney, anak-anak mereka juga ada yang mengikuti jejak sang bapack.

Tapi, tidak sedikit juga jalur nazab yang kemudian mengalami mutasi turun kualitas. Johan Cruyff contohnya. Anaknya, Jordi, memang pernah bermain di MU, tapi nggak bisa nyaingi kharisma, kepemimpinan, kecerdasan, dan kelihaian Bapaknya. Ketika pindah ke Spanyol pun, kariernya tak bisa secemerlang bapaknya.

Contoh lain yang nggak nyambung adalah Alex Fergusson dan anaknya Darren. Sementara sang bapak menjadi manajer legendaris dan tersukses di Liga Inggris, sang anak yang mencoba mengikuti jejak bapaknya malah dipecat dari klub yang diasuhnya Peterborough United yang bermain di kasta rendah liga.

Dari banyak nazab dalam dunia bola, salah satu yang paling cemerlang saat ini adalah anak Mazinho, Thiago Alcantara. Sang bapak adalah pemain Brasil yang memenangi Piala Dunia 1994 dan Piala Amerika Latin 1989.

Sang anak mengikuti jejak bapaknya bermain bola, tapi tidak untuk Brasil melainkan Spanyol. Ia sebenarnya juga berpeluang untuk mewakili Italia –karena lahir di negeri pizza tersebut.

Jika menyebut Thiago, kita sedang berbicara tentang pemain yang mengoleksi banyak trofi bergengsi bersama klubnya. Dengan Barcelona, ia menjadi bagian dari tim pemenang trebel di tahun 2011 –juara La Liga, juara UCL, dan juara Piala Raja.

Dibawa Pep Guardiola ke Bayern Muenchen, Thiago mengoleksi tujuh trofi juara Bundesliga berturut-turut. Belum lagi piala DFB Pokal (semacam Carabao di Inggris atau Piala Raja di Spanyol). Dan berbeda dengan Pep yang belum merengkuh juara UCL saat menjadi pelatih kecuali bersama Barcelona, Thiago ikut menikmati kesuksesan Bayern menjadi penguasa Eropa selepas ditinggalkan Pep dan ditukangi Hansi Flick.

Datang ke Inggris menuju Liverpool, Thiago punya masalah di awal kedatangannya. Baru datang udah kena virus Covid. Eh, pas udah bisa main, baru bentaran main udah ditekel pemain lawan yang memaksanya menepi berpekan-pekan.

Klopp tahu kemampuan Thiago. Dan tahu cara memperlakukannya dengan baik. Begitu kebugarannya pulih, ritme permainannya kembali, Thiago menjelma menjadi mesin penggerak permainan Liverpool di tengah. Ditopang oleh Fabinho dan Keita atau Henderson, Thiago mampu menerjemahkan kecerdasannya di lapangan dengan sangat aduhai.

Kalimatnya soal bola dan kecerdasan, menunjukkan itu. “Sepakbola selalu terkait otak. Yang terpenting adalah berpikir cepat dan mengeksekusi akurat.”

Soal kecerdasan, Thiago memang bukan manusia kaleng-kaleng. Setidaknya terlihat dari penguasaan bahasa. Bahasa Spanyol, Portugis, Jerman, dan Inggris ia kuasai dengan baik. Tak heran Luis Diaz yang belum fasih beringgris, tetap merasa nyaman di dalam tim. Thiagolah jembatannya.

Soal keterampilan dan terutama umpan-umpan jauhnya, Thiago membuat fans bola harus sering geleng-geleng kepala. Akurasinya teruji. Presisinya mengagumkan. Umpan-umpan terobosannya tak jarang membuat boyok pemain lawan suka melintir.

Dalam pertandingan-pertandingan Liverpool teranyar, catatan angkanya gila-gilaan. Di derbi Kali Mersi melawan Everton misalnya, total sentuhan bola seorang Thiago lebih banyak daripada sentuhan seluruh pemain Everton.

Tak heran bila Karl Heinz Rummenigge, Presiden Bayern, mati-matian menggondelinya untuk bertahan di klub, sewaktu ia tergoda untuk mencari petualangan baru di Inggris bersama Liverpool.

Bila bersama Barcelona dan Bayern Thiago sudah membuktikan dengan trofi berderet-deret, hal itu belum dilaluinya bersama Liverpool, kecuali satu piala Carabao. Itupun didapatnya tanpa bermain di final, setelah ia mengalami cedera saat pemanasan menjelang final sehingga tak bisa bermain, yang membuatnya menangis tersedu-sedu di pelukan sohib dan tandemnya, Fabinho.

Suasana berburu gelar di akhir musim yang dijalani Liverpool memang lagi asik-asiknya. Menginjakkan kaki di final FA Cup, separuh kaki di UCL, dan masih terus mengejar City menjadi juara Liga. Thiago mengaku sangat menikmatinya.

Dan ia merasakan kenikmatan itu karena Juergen Klopp pelatihnya, menebarkan kata-kata yang membuat para pemainnya seperti kesetanan di lapangan: “Kita memang mengejar target juara. Dan kita masih berada di semua jalur piala yang tersedia di depan mata. Kita akan mengalami tekanan-tekanan. Kita harus meningkatkan fokus dari pertandingan ke pertandingan. Tapi janganlah itu membuat kalian lupakan satu hal: bahagia.”

Itu juga sejalan dengan prinsip hidupnya. “Selama kamu bahagia dan bersemangat dengan apa yang kamu lakukan, kamu akan selalu mengembangkan skill-mu untuk menjadi yang terbaik.”

Jika kebahagiaan menjadi ukuran, Thiago sudah memeluknya sehari-hari. Di dalam dan di luar lapangan. Prestasinya mentereng, sudah terbukti. Istrinya Julia Vigas, seorang pengusaha pemilik restoran kelas atas di Spanyol, telah memberinya dua anak yang lucu-lucu. Dan anak-anaknya ini punya passion yang sama. Waktu Thiago ditekel keras Richarlison dan membuatnya cedera, sang anak, Gabriel Alcantara, sedih bukan kepalang. Medsos sang anak pun jadi tumpahan perasaannya.

Entah di masa depan, apakah nazab bola Mazinho-Thiago akan menurun dan berlanjut ke generasi berikutnya, Thiago-Gabriel.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *