Ho Chi Minh adalah sejarah perjuangan. Sejarah perlawanan. Juga romansa keduanya. Bagi rakyat Vietnam, Ho Chi Minh adalah segalanya. Posisinya sentral bagi eksistensi bangsa. Seperti halnya Soekarno bagi kita, Nehru bagi India, Attaturk bagi Turki, atau Washington bagi Amerika Serikat.
Dulu bangsa dengan geografi memanjang ini terbelah dua secara geopolitik. Di utara, komunis menguasai. Di selatan kapitalislah yang lebih dominan. Kota Hanoi adalah yg terbesar di utara, sedangkan Saigon di selatan.
Ketika Amerika mencoba menaklukkan Vietnam sebagai upaya menahan laju komunisme, Paman Ho Chi Minh adalah pemimpin pergerakannya. Pada akhirnya Amerika menang. Tapi cuma di film-film Holiwud. Di lapangan nyata, mereka babak belur. Di kalangan rakyat Amerika, perang Vietnam menjadikan pemerintah yg berkuasa jadi bulan-bulanan. Secara keuangan, miliaran dollar terhambur di medan perang secara sia-sia.
Wilayah Saigon di selatan lama dijajah Perancis. Jejak-jejaknya masih terasa hingga hari ini. Tidak hanya di jalanan dan bangunan, tapi juga dalam perikehidupan. Orang Saigon, lebih blak-blakan dan terbuka, ketimbang saudaranya di Hanoi. Sebagai bangsa satu, sebagai budaya tetap terasa ada yg berbeda.
Waktu kecil, saya menyimak perkembangan perang Vietnam dari Radio BBC, yg bisa ditangkap dari Radio Telesonic dengan frekuensi gelombang pendek alias Short Wave alias SW. Dalam setiap pamungkas laporannya, selalu terdengar “Demikian laporan singkat dari Saigon.”
Setelah masa damai dan Vietnam bersatu, tidak ada lagi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Hanoi masih ada hingga hari ini. Tapi tidak dengan Saigon. Kenapa? Karena sudah berganti nama menjadi HCM City. Apa itu HCM? Ho Chi Minh.
Demikian laporan singkat perjalanan ke Saigon, eh… Ho Chi Minh City.