Bola menjanjikan piala-piala bagi pemenangnya. Sama seperti hidup menjanjikan keindahan dan kenikmatan bagi siapapun yang menjadi pemenang. Selain –tentu saja– menghasilkan derita berkepanjangan dan kesedihan bagi mereka yang dicap pecundang.
Ukuran prestasi klub memang adalah jumlah piala di lemari kabinet. Tak heran fans MU benci banget dengan fans Liverpool karena merekalah satu-satunya yang bisa menyaingi capaian MU semenjak dikendalikan Alex Fergusson.
Alex pun merasa khawatir Klopp dengan Liverpool-nya akan “back to their perch”, dan itu berarti mengurangi kedigdayaan MU dalam hal merebut piala. Di masa kuasanya, tak ada rumus pemain MU pindah ke Liverpool. Kasus Gabriel Heinze jadi bukti paling kuat.
Dalam hampir setiap wawancara yang sulit untuk dijawab secara teknis, Klopp selalu membandingkan bola dengan hidup itu sendiri. Dan dalam banyak hal, hidup lebih dari sekadar bola bagi Klopp. Makanya, di dalam pandangannya, piala dan juara bukan segala-galanya.
Apa buktinya?
Infonya mazzseeeeeh, ketika masih berjuang mengubah para peragu di Liverpool –ya manajemennya, ya pemainnya, ya fansnya– Klopp pernah digoda beberapa kali untuk melatih Bayern Muenchen. Tiap tahun? Ya enggak! A few, Klopp mengaku begitu. Artinya pula, pasti tidak sekali saja.
Padahal, melatih Muenchen adalah jaminan raihan piala. Pep Guardiola sudah membuktikannya. Siapapun pengganti Pep di Muenchen juga merasakannya. Bayangin, klub ibukota Jerman ini bisa juara 11 kali berturut-turut di tangan pelatih yang berbeda-beda.
Liga Jerman memang agak beda dengan liga atas Eropa lainnya, yang biasanya tak mungkin lebih dari 5 kali berturut turut. Italia, Perancis, Spanyol, Belanda. Apalagi Liga Inggris.
Dan salah satu kerikil yang mengusik Muenchen menjadi selalu juara adalah Borussia Dortmund di era Klopp. Piala DFB Pokal ataupun Liga, pernah dicicipi Klopp dengan Dortmundnya.
Itu bisa terjadi karena Bayern punya segala-galanya. Ya akademi, ya uang, ya magnet ketenaran. Sejarahnya memang sudah gitu aja. Metode untuk melanggengkan juara sudah terpola secara sistemik, tapi yang paling pokok adalah memperkuat dan terus memperkuat diri dengan merusak irama dan sistem dan pemain pihak lawan terberat.
Kiper Bayern, Manuel Neuer, adalah kiper terbaik Jerman di klub Schalke 04 ketika diboyong Muenche di usia muda. Lewandowski, adalah didikan Klopp di Dortmund. Ketika Klopp pergi dari Dortmund, eksodus pemain terbaik dari Dortmund tak terhindarkan. Matt Hummels, Mario Gotze, atau Torsten Frings.
Dortmund memang bisa mengasah pemain-pemain belasan tahun berikutnya jadi cemerlang dan punya nilai jual tinggi. Sancho, juga Haaland, adalah bukti. Juga Jude Bellingham.
Tapi Muenchen gak cuma menggerogoti Dortmund. Stuttgart digerogoti ketika Kimmich atau Benjamin Pavard diambil. Dan bukan cuma Dortmund, Schalke, dan Stuttgart. Juga Hoffenheim. Bagi Bayern, klub-klub pesaing adalah akademi untuk menemukan bibit-bibit terbaik.
Jadi, yang dilakukan Bayern adalah menggerogoti lawan-lawan domestiknya dengan mencomot pemain-pemain klub musuh yang terbaik, sehingga tidak ada pesaing kuat di liga lokal yang sempat membangun tim yang solid.
Dengan demikian, cara berpikir Bayern adalah membangun imperium untuk mempertahankan dominasi selama mungkin sekuat mereka bisa lakukan dan dengan demikian menguasai setiap piala yang tersedia di depan mereka.
Dengan kekuasaan uang dan sejarah yang dimiliki Bayern Muenchen, Klopp digoda untuk memperkuat imperium itu. Menambah piala dan pundi-pundi juara di bawah kepemimpinan Klopp.
Apa jawaban dia?
“Dunia ini tidak dipenuhi oleh orang-orang juara. Dunia ini dipenuhi oleh orang-orang yang mencoba.”
Orang yang bisa juara hanya sedikit, meskipun setiap orang ingin merasa jadi juara dan menjadi pemenang dalam setiap kompetisi. Klopp tidak ingin menjadi juara yang jumlahnya sedikit itu. Ia memilih menjadi orang biasa, pencoba yang ingin menjadi juara. Dalam bahasa candaannya, The Normal One. Bukan The Special One seperti yang diklaim Jose Mourinho ketika masih gahar-gaharnya.
Tawaran Bayern kepada Klopp –harus diakui– memberikan kepastian yang lebih besar untuk menjadi juara. Setidaknya di level lokal Jerman. Ia tak pilih jalan itu. Ia memilih journey yang baginya lebih asik gitu.
Padahal, dalam journey-nya, Klopp juga banyak gagalnya. Tetapi selalu ada saja yang berhasil dari sekian percobaan menjadi juara. Baik di Dortmund atau juga di Liverpool.
Di Dortmund, ia gagal di final Liga Champions. Dikangkangi Muenchen di Liga juga tak cuma sekali.
Di Liverpool, dia pun gagal meraihnya pada kesempatan pertama. Ya Liga Eropa, ya Carabao Cup, ya Liga Champions, ya Liga Inggris. Bahkan di Liga Inggris, kegagalan menjadi juara pernah ditentukan oleh bola yang bergulir ke gawang City kurang 11 mili saja. Beneran… satu senti lebih semili. Edan kan?
Namun manusia pencoba seperti Klopp tidak menyerah dan tetap mencoba. Menyakitkannya, ketika gagal dalam percobaan, Klopp suka memaksa para pemainnya menyaksikan dengan seksama dan cermat klub yang mengalahkan saat mereka menerima piala.
“Coba lihat mereka. Gitu loh rasanya menjadi juara. Dan kalian harus berani menyaksikannya, merasakan pahitnya, tapi juga bisa membayangkan seandainya mereka adalah kalian, karena kalian harus percaya, suatu saat kalian akan merasakannya.”
Begitu ia memotivasi para pemainnya. Udah pasti muka-muka frustrasi tanpa senyum yang dipaksa menerima kenyataan.
Agak-agak bangke sih emang cara Klopp yang kayak-kayak gini. Lha kita sebagai fans aja udah males ngerasain kalah, apalagi ini pemain, udah capek-capek tarung dan kalah, lalu disuruh nonton pemain lawan yang baru saja dimusuhi pas terima piala. Disuruh melototin pemain yang ketawa-ketawa hepi-hepi lonjak-lonjak ngangkat piala.
Mengapa ia “tega” melakukannya?
Karena percaya. Pada suatu ketika percobaan pasti akan berhasil dan Klopp kemudian membuktikannya. Dan ia sangat menikmati setiap proses dari percobaan, dengan menggunakan seluruh sumber daya yang ia miliki: pemain, pemandu bakat, pemilik klub, manajemen, asisten, dan terutama fans.
Maka, satu per satu upaya pencobaan itu menghasilkan piala. Dan itu ternyata mengubah keyakinan klub dari peragu ke peyakin. From doubters to believers.
Ia berhasil membangkitkan keyakinan pemainnya, dan sang pemain banyak yang memecahkan rekor capaian demi rekor capaian, baik di klub maupun di liga.
Hendo dibawanya menjadi kapten pertama Liverpool dan klub Inggris yang mampu mengangkat 6 piala yang berbeda di level Inggris, Eropa, dan dunia. Trent Arnold dibawanya menjadi anak muda yang baru umur dua puluh tiga dan telah memenangi semua piala. Mo Salah memecahkan rekor klub sudah berapa saja selain gol-gol yang dihasilkannya. Mane sudah menyamai rekor sebagai pemain Afrika terbanyak pencetak gol bersama Didier Drogba.
Kehidupan itu seperti bola yang bundar. Tidak bisa ditebak dan tidak bisa ditentukan sisinya. Ia mengandung ketidakterbatasan dari sudut-sudutnya, karena yang bundar memang tidak bersudut. Sama seperti hidup, ia membuka pilihan-pilihan yang nyaris tidak terbatas.
Tapi bola yang bulat sekaligus memenjarakan keterbatasan, seperti angin yang ditiupkan ke dalam bola dan tidak bisa bergerak ke mana-mana. Ketika bola bundar berisi angin dimainkan, permainan dipenuhi dengan aturan berpasal-pasal dan diawasi delapan mata yang siap menghukum yang melanggar pasal-pasal aturan.
Hidup juga demikian. Jika kerangkeng yang mengunci angin pada bola adalah kulit yang dibuat bulat itu, maka penjara kehidupan adalah segala dogma, aturan, tata-tertib yang mengunci pikiran manusia ke dalam tindakan-tindakan serba terbatas.
Namun dalam keterbasan aturan dan ketidakterbatasan imajinasi pikiran itulah piala-piala kehidupan dipertandingkan dan enak dinikmati.