Pidato Sukarno di Sidang BPU PKI

Pidato

Ini bukan pidato biasa. Bukan ceramah biasa. Bukan sambutan biasa.

Lima hari sebelum ulang tahunnya yang ke-44, Soekarno di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, memperkenalkan konsep awal berdirinya calon negara baru, yang kemudian dinamai Republik Indonesia.

Konsepsi tentang dasar negara itu terdiri atas lima azas. Azas, bukan jalan atau dharma. Untuk menyatukan lima konsepsi tersebut, Soekarno bertanya dan berkonsultasi dengan sahabatnya yang seorang ahli bahasa, dan jadilah konsepsi ini sebagai Pancasila. LIma dasar. Lima azas.

Soekarno meletakkan kebangsaan sebagai azas pertama, karena dipengaruhi oleh situasi politik dunia pada saat itu, di mana banyak bangsa bertikai karena urusan kebanggaan berlebihan pada bangsanya sendiri. Soekarno tidak mau bangsa yang akan dibangun nanti, terjebak pada chauvinisme atau uber alles. Atau ultranasionalis kalau bahasa kekiniannya. Maka, kebangsaan itu ada satu paket dengan internasionalisme atau perikemanusiaan. Kebangsaan yang dibangun, harus mencari persamaan dengan nilai-nilai/pandangan yang dimiliki oleh bangsa lain. Harus menuju kekeluargaan antarbangsa.

“Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar dalam bumi nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak hidup dalam tamansari internasionalisme,” kata Bung.

Dua prinsip itulah, yang menjadi dasar bagi bangsa yang akan merdeka nanti, “untuk bergandengan tangan dengan bangsa-bangsa lain,” kata Si Bung lagi.

Prinsip ketiga menurut Soekarno, adalah mufakat atau demokrasi. Karena bangsa yang akan dibangun ini, “Negara Indonesia bukan satu negara buat satu orang. Untuk satu golongan,” kata Si Bung dengan menggelegar. Tapi, “Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu.” Dengan cara mufakat kita perbaiki segala hal. Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan.

Selama sidang BPUPKI yang telah berlangsung berhari-hari mendengarkan pidato dan sumbangan pemikiran banyak tokoh kala itu, ada satu yang luput dari perhatian forum. Makanya Soekarno bilang, “Dalam tiga hari ini saya belum mendengar prinsip itu. Yaitu prinsip kesejahteraan. Prinsip tidak ada kemiskinan di dalam negara Indonesia.

“Prinsip ini penting untuk dijadikan dasar sebuah negara, supaya setiap warga bangsa yang baru ini nantinya, “Mana yang kita pilih, yang kaum kapitalnya merajalela atau merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang kepadanya,” kata Soekarno setengah bertanya dengan nada tinggi kepada sidang.

Prinsip kelima adalah Ketuhanan. Prinsip ketuhanan bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya negara Indonesia satu negara yang bertuhan,” suaranya memekik menggelegar, diakhiri tepuk tangan anggota sidang.

Pidato itu, tak lain tak bukan adalah pidato paling menyentak dan paling merangkum seluruh gagasan dari para tokoh yang menyampaikan pemikiran dan pandangannya di dalam sidang tersebut.

Tidaklah salah ketika hari ini kita duduk-duduk manis di rumah. Negara menetapkannya sebagai hari libur, meskipun hari-hari ini, libur dan tidak libur seperti tiada ada bedanya gara-gara pandemi Corona.

Pidato yang mengundang tepuk tangan berkali-kali dari para peserta sidang tersebut, juga menandai sikap Soekarno yang terbuka pada pandangan dan pemikiran lain. Apabila Pancasila yang disampaikannya tidak disukai oleh para peserta sidang yang akan menentukan fondasi bangsa, ia menawarkan perasan dari lima sila menjadi tiga sila atau Trisila. Dan apabila juga ada yang tidak senang dengan konsep itu –Pancasila atau Trisila–, Soekarno mengajukan satu prinsip yang kata-katanya ia temukan hanya ada di dalam diri bangsa ini: Gotong Royong. “Satu perkataan Indonesia yang tulen,” kata Bung.

Dan kata-kata terakhir itulah yang rupanya tetap relevan hingga hari ini, di tengah-tengah suasana pandemi yang mencekik tiap-tiap orang, tiap-tiap golongan orang, tiap-tiap bangsa. Tanpa kecuali.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *