PT PLN (Persero) mengungkapkan tantangan keuangan selama pandemi yang memaksa perseroan membayar sekitar Rp 3 triliun per 1.000 Mega Watt (MW) atau 1 Giga Watt (GW) per tahunnya. Menurut Senior Executive Vice President Corporate Secretary PLN, Alois Wisnuhardana, PLN mengalami kelebihan pasokan atau oversupply listrik saat pandemi tiga tahun lalu.
Alois menyebut bahwa meskipun penggunaan listrik tidak mencapai 1 GW, pembayaran sebesar Rp 3 triliun harus tetap dilakukan. Bahkan, PLN pernah mengalami oversupply hingga 10 GW.
“Ketika menghadapi pandemi, setiap demand 1 giga digunakan atau tidak, kita harus membayar sekitar Rp 3 triliun. Bahkan, kita pernah mengalami oversupply hingga 10 GW. Artinya, Rp 30 triliun ketika puncak terjadi,” ujarnya di Tenis Indoor Senayan, Kamis (9/3).
Untuk mengatasi masalah ini, PLN mencari solusi dengan melobi perusahaan swasta yang menjadi pemasok hingga senilai Rp 37 triliun.
“PLN mencari jalan keluar dan Alhamdulillah kita melakukan pembicaraan ulang dengan pemasok swasta itu sampai nilainya mencapai Rp 37 triliun,” sebutnya.
Di sisi lain, Alois melanjutkan bahwa selama pandemi COVID-19, PLN juga mengalami utang yang sangat besar, mencapai sekitar Rp 500 triliun. Namun, perseroan melakukan berbagai perbaikan, termasuk transformasi, perubahan organisasi, dan cara kerja.
“Dalam 2 tahun terakhir, kita berhasil mengurangi utangnya lebih sedikit dari Rp 400 triliun. Artinya kita mampu membayar utang sekitar Rp 62,5 triliun dalam 2 tahun,” sebutnya.
Alois menambahkan bahwa banyak pihak yang awalnya pesimis terhadap kinerja PLN yang memiliki utang besar beberapa tahun lalu. Namun, secara perlahan perseroan berhasil mengubah persepsi publik terhadap PLN dengan mengurangi utang melalui efisiensi hingga Rp 7 triliun.
“Semua orang bilang PLN akan kolaps dan utang sangat besar. Dengan transformasi, kita bisa melakukan efisiensi sebesar Rp 7 triliun. Pengurangan utang dan beban utang hampir mencapai Rp 7 triliun juga,” pungkasnya.
sumber: CNBC Indonesia