Terusan Suez, atau Suez Canal, adalah titik penghubung terpenting Asia dan Eropa hari ini, sejak dibangun 1858 oleh seorang Perancis Ferdinand de Leseps. Kanal ini dibuat untuk menyambungkan Laut Mediterania di selatan Benua Eropa dengan Laut Merah yang membujur sempit membelah benua Asia dan Afrika.
Imajinasi untuk memotong bentang daratan melewati tanah Mesir tersebut adalah upaya paling penting dalam menciptakan jalur perdagangan yang efisien kala itu antara Asia dengan Eropa.
Bayangkan saja, tanpa adanya Suez, lalu lintas barang dan orang dari kedua benua itu harus memutar mengelilingi Afrika hingga di ujung selatan di Tanjung Harapan, dan harus melewati Samudera Hindia dan Samudera Atlantik yang terkenal ganas.Dan untuk menempuh rute itu, dibutuhkan waktu berminggu-minggu lebih lama, dengan biaya yang jauh lebih mahal, dan risiko lebih besar. Dalam perdagangan modern, itu tak bisa diterima. Maka, jadilah Suez menjadi sudetan yang terpenting pada zamannya.
Setelah 163 tahun menjadi penghubung utama Asia dan Eropa, tiba-tiba saja akhir Maret lalu, Suez mendadak terkunci. Gara-garanya sebuah kapal Ever Given milik perusahaan logistik Evergreen nyangkut di jalur penting tersebut. Dalam hitungan kurang dari sepekan, kapal tersebut memang sudah berhasil dibebaskan dan bisa beroperasi kembali. Namun selama upaya pembebasan dilakukan, terdapat hampir 450 kapal yang harus menunggu di kedua sisi.
Di antara kapal-kapal yang terjebak itu, ada belasan –14 kalau nggak salah– mengangkut ribuan ternak. Salah satu kapal misalnya, mengangkut kurang lebih 92 ribu domba menuju Yordania.
Kapal-kapal yang lain, mengangkut berbagai komoditas yang punya ketahanan cukup lama seperti minyak dan barang-barang manufaktur. Tapi domba? Sebanyak itu pula, bagaimana membuat mereka bisa bertahan. Domba-domba itu, sama seperti kita, butuh air untuk dapat bertahan hidup.
Bagi kapal-kapal itu, pilihannya adalah bertahan, atau memutar balik. Enggak usah menghitung biayanya dulu, deh. Tak pelak, situasi itu menimbulkan krisis bagi kapal-kapal ternak tersebut, sembari menghitung berapa domba mati setiap hari. Domba kan gak bisa minum air asin.
Tersumbatnya jalur Suez pun punya rentetan lebih panjang. Beberapa kapal sudah terlambat seminggu lebih saat mengangkut barang dari Asia ke Eropa atau sebaliknya. Padahal, sebelum terjadinya insiden, transaksi perdagangan melewati Terusan Suez sudah nyaris pulih setelah dihantam pandemi Covid-19.
Seorang pelaku usaha transportasi Sanne Manders, Kepala Perusahaan jasa pengiriman barang Flexport, kebuntuan akibat Ever Given ini memperburuk situasi yang mengakibatkan terjadinya kelangkaan kontainer. Terjadi penumpukan kapal di titik yang satu, dan kelangkaan kapal di titik yang lain. Ketidakpastian terjadi, dan memicu persoalan berikutnya yaitu makin mahalnya ongkos logistik.
Jalur kapal sepanjang 193 km sekarang memang sudah normal. Tetapi ekor dari penyumbatan seminggu, telah menimbulkan efek domino yang panjang. Banyak perusahaan logistik yang terpaksa melakukan blank sailing (ngglondhang, bahasa Jawanya), akibat penundaan dan ketidakpastian yang tinggi tadi.
Wahai Suez yang membuat muram, mudah-mudahan dirimu segera bersinar lagi.
Alois Wisnuhardana, Eximbanker at day, dreamer at night.