Survival

Perjuangan sebuah klub untuk dapat bertahan di Liga Primer Inggris, sama sengitnya dengan perburuan meraih piala di puncak.

Jika musim ini di puncak klasemen Manchester City berada di pole position untuk meraih juara dan bertarung hanya dengan Liverpool di ujung akhir liga, perjuangan untuk tetap bertahan di Liga primer melibatkan tidak hanya satu atau dua klub.

Norwich City dan Watford memang sudah harus terlempar ke Liga Championship sejak beberapa pekan lalu. Tapi satu tempat buangan masih harus dihindari oleh Leeds, Burnley, dan Everton.

Tak heran jika pertandingan Everton vs Crystal Palace yang berakhir meloloskan Everton dari lubang jarum, dirayakan Evertonian layaknya kemenangan merebut juara Liga Inggris.

Chaos terjadi di lapangan hijau begitu peluit pertandingan ditiup menandai usai. Penonton turun berhamburan ke tengah lapangan. Kegilaan, juga cemoohan dan caci maki menguar seketika. Sampai-sampai, Patrick Vieira, pelatih Palace, diledek habis oleh suporter, yang berujung sepakan dan membuat si peledek tersungkur.

Di musim ini, di ujung akhir game ke-38, setelah Everton lolos, tinggal Burnley dan Leeds yang akan menentukan nasib: bertahan atau tenggelam.

Tenggelamnya sebuah klub dari pusaran kasta tertinggi, memang bisa berujung petaka berkepanjangan. Nottingham Forest misalnya. Status menterengnya sebagai klub elite Inggris di 1980-an, juara Eropa di era yang sama, kini pudar. Mereka harus bertarung satu tempat dengan Huddersfield Town, Sheffield United, dan Luton Town untuk mengisi tempat yang akan ditinggalkan Burnley atau Leeds.

Untuk bangkit dan meraih tempat itu, Forest selama bertahun-tahun, harus berkelana ke Liga Championship, bahkan sempat turun ke kasta bawahnya, Liga 1. Padahal, sebelumnya ini adalah klub yang sejajar dengan Liverpool, Hamburg, atau Barcelona di kancah Eropa pada era akhir 1970-an. Level elite-nya di Eropa masa itu dari sudut pandang gelar, mungkin setara dengan Chelsea masa kini.

Klub-klub lain yang terlempar dari Liga Primer, bahkan ada yang lebih merana. Fulham, Bournemouth, atau Norwich memang bolak-balik naik turun kasta Championship-Liga Primer. Middlesbrough, Hull, Stoke dan Birmingham City, juga West Bromwich Albion juga demikian.

Tapi klub semacam AFC Wimbledon, Charlton Athletic, Ipswich Town, Portsmouth, atau Bolton Wanderers kini harus berjuang di Liga 1. Bradford City atau Bristol Rovers, malah terseok-seok di Liga 2.

Setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Begitulah kehidupan. Setiap zaman melahirkan para pemimpin, dan setiap pemimpin lahir pada zaman yang berbeda. Begitu pula di dunia bola.

Forest menjadi hebat dan punya pemain hebat macam Bryan Roy, Nigel Clough, atau pemain pelatih Inggris Stuart Pearce. Di tangan Bryan Clough dan asisten Peter Taylor, Forest adalah kekuatan yang menggentarkan lawan-lawannya. Setara dengan Klopp di Liverpool atau Mourinho di periode pertamanya bersama Chelsea.

Pada masanya, klub-klub yang kini terpuruk itu juga melahirkan pemain-pemain legendaris atau pemain-pemain hebat. Sebagian menjadi hebat ketika pindah ke klub lain. The Boro pernah punya Juninho, si kecil dari Brazil. Wimbledon pernah punya Efan Ekoku. Sunderland melahirkan Jordan Henderson dan Hull City punya Andy Robertson yang kemudian menjadi bintang cemerlang di Liverpool. Fulham pernah punya Luis Saha dan Edwin van der Saar yang bersinar bersama Manchester United dan menjadi legenda.

—-

Setiap fans bola tahu, terlempar dari Liga Primer adalah penderitaan berkepanjangan yang bisa berdurasi setengah atau satu generasi. Drama bertahannya Everton, jelas menunjukkan itu. Bagi keluarga-keluarga tepian Sungai Mersey, obrolan paling hangat di meja makan atau halaman adalah soal bola. Ketika klub tidak lagi ada di panggung utama, hambarlah obrolan di ruang keluarga.

Cinta dan benci adalah hal alami, tapi juga bisa tumbuh karena dididik dan diajari. Ketika kecintaan terhadap klub sudah ditanamkan sejak kecil, sulit untuk menyeberang atau berpaling ke klub lain. Dan kecintaan itu, seringkali dibumbui dengan didikan-didikan kebencian kepada klub yang tidak disukai.

Makanya, seorang Evertonian sangat jarang berubah menjadi Liverpudlian. Demikian pula sebaliknya. Hanya seribu satu kasus itu terjadi. Salah satunya adalah Jammie Carragher. Terdidik dari kecil sebagai Evertonian, dia berakhir menjadi legenda Si Merah.

Tak heran pula bilamana perpindahan pemain antar kedua klub menjadi cemooh panjang bagi si pelakunya. Nick Barmby atau Abel Xavier misalnya. Selalu di-boooooowwwhhh setiap kali bermain di Goodison Park.

—-

Bertahan di panggung Liga Primer bukan cuma soal ketenaran atau kemasyhuran. Bukan hanya soal kebanggaan dan kecintaan kepada klub. Bagi klub, kemampuan bertahan berarti juga kemampuan untuk mencetak atau kehilangan uang. Mereka yang terlempar, siap-siap menderita dan miskin berkepanjangan. Yang mampu bertahan, berpotensi untuk tidak jatuh niksim. Dan di situ, uang bicara. Money talk.

Bagaimana uang juga punya peran, sangat terlihat pada Newcastle United. The Toons masih terkunci di dasar klasemen ketika paruh musim berlalu. Musim transfer dibuka, dan klub ini baru saja diakuisisi Sultan –dalam arti sebenar-benarnya—sehingga uang bukan masalah. Pemain baru dan kunci dibeli, sehingga yang lini yang lemah bisa ditambal dan daya gedor gol bisa digeber. Newcastle juga melakukan pergantian pelatih untuk mencoba bertahan sebisanya. Dan itu berhasil.

Tapi pergantian pelatih belum tentu menghasilkan dampak yang sama. Mengusir Marcelo Bielsa dan menggantinya dengan Jesse March, tidak membuat Leeds jadi lebih baik seperti halnya The Toons Army. Leeds masih harus berjuang menghindari neraka degradasi sampai ujung akhir kompetisi.

Bagi sebuah klub, terdegradasi juga menurunkan nilai jual pemain. Rafinha, pemain Brazil di Leeds, harganya bisa jatuh 15-30 juta dolar jika klubnya terdegradasi. Begitu juga gelandang Kalvin Philips yang sekarang masih bernilai 50 jutaan dolar. Kalau sampai degradasi, nilai jualnya bakal merosot hingga separuhnya.

Ismail Sarr, kawan senegara Sadio Mane yang bermain untuk Watford, jelas sangat murah harganya. Tak beda dengan Andy Robertson dan Xherdan Shakiri yang diambil Klopp ketika klub mereka terdegradasi –Hull dan Stoke City.

Dengan demikian, drama liga Inggris musim ini, memang bukan sekadar drama City-Liverpool, tapi juga drama Burnley-Leeds di sektor bawah klasemen. Jika City atau Liverpool akan meraih jutaan dolar jika menjadi juara, Burnley atau Leeds akan kehilangan jutaan dolar bilamana mereka terlempar dari Liga Primer.

Maka, bila City-Liverpool berjuang pada mode berebut juara, Burnley-Leeds sedang bertarung pada mode berebut survival.

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *